Doa
laknat bagi yang mengganti ajaran Nabi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ ” (HR. Bukhari no. 7049)
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)
Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbuat bid’ah.
Ibnu Baththol mengatakan, “Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan kaum muslimin yang berada di atas kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bid’ah termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang membuat-buat perkara baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat zholim dan yang menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru dan telah mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga termasuk dalam hadits ini.” (Lihat Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai perkara bid’ah dan menjadikan kita sebagai umatnya yang akan menikmati al haudh sehingga kita tidak akan merasakan dahaga yang menyengsarakan di hari kiamat, Amin Ya Mujibad Du’a
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ ” (HR. Bukhari no. 7049)
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)
Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbuat bid’ah.
Ibnu Baththol mengatakan, “Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan kaum muslimin yang berada di atas kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bid’ah termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang membuat-buat perkara baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat zholim dan yang menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru dan telah mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga termasuk dalam hadits ini.” (Lihat Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai perkara bid’ah dan menjadikan kita sebagai umatnya yang akan menikmati al haudh sehingga kita tidak akan merasakan dahaga yang menyengsarakan di hari kiamat, Amin Ya Mujibad Du’a
Sudah sepatutnya kita menjauhi berbagai macam bid’ah
mengingat dampak buruk yang ditimbulkan. Berikut beberapa dampak buruk dari
bid’ah.
Pertama, amalan bid’ah tertolakRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak
ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan
Muslim no. 1718)Orang yang berbuat bid’ah inilah yang amalannya merugi. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ
بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi [18] : 103-104)Kedua, pelaku bid’ah terhalangi untuk bertaubat selama dia terus menerus dalam bid’ahnya. Oleh karena itu, ditakutkan dia akan mengalami su’ul khotimah
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ
عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Allah betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat
sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Thabrani. Dikatakan shohih
oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 54)Ketiga, pelaku bid’ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak akan mendapatkan syafa’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى
الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ
لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ
تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan
di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan
(minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas
berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau
sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’
” (HR. Bukhari no. 7049)Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ
إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ
بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya
engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.”
Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan,
“Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.”
(HR. Bukhari no. 7051)Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbuat bid’ah.
Ibnu Baththol mengatakan, “Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan kaum muslimin yang berada di atas kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bid’ah termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang membuat-buat perkara baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat zholim dan yang menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru dan telah mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga termasuk dalam hadits ini.” (Lihat Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai perkara bid’ah dan menjadikan kita sebagai umatnya yang akan menikmati al haudh sehingga kita tidak akan merasakan dahaga yang menyengsarakan di hari kiamat, Amin Ya Mujibad Du’a-
Keempat, pelaku bid’ah akan mendapatkan dosa jika amalan bid’ahnya diikuti orang lain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ
سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ
بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ
سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ
عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang
sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang
mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh.
Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh
orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang
mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)Wahai saudaraku, perhatikanlah hadits ini. Sungguh sangat merugi sekali orang yang melestarikan bid’ah dan tradisi-tradisi yang menyelisihi syari’at. Bukan hanya dosa dirinya yang akan dia tanggung, tetapi juga dosa orang yang mengikutinya. Padahal bid’ah itu paling mudah menyebar. Lalu bagaimana yang mengikutinya sampai ratusan bahkan ribuan orang? Berapa banyak dosa yang akan dia tanggung? Seharusnya kita melestarikan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenapa harus melestarikan tradisi dan budaya yang menyelisihi syari’at? Jika melestarikan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam -seperti mentalqinkan mayit menjelang kematiannya bukan dengan talqin setelah dimakamkan- kita akan mendapatkan ganjaran untuk diri kita dan juga dari orang lain yang mengikuti kita. Sedangkan jika kita menyebarkan dan melestarikan tradisi tahlilan, yasinan, maulidan, lalu diikuti oleh generasi setelah kita, apa yang akan kita dapat? Malah hanya dosa dari yang mengikuti kita yang kita peroleh.
Marilah Bersatu di atas Kebenaran
Saudaraku, kami menyinggung masalah bid’ah ini bukanlah maksud kami untuk memecah belah kaum muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika kami menyinggung masalah ini. Yang hanya kami inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di atas kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar. Yang kami inginkan adalah agar saudara kami mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kami ketahui. Kami tidak ingin saudara kami terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak kami inginkan pada diri kami. Semoga maksud kami ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا
الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ
تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan)
Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.”
(QS. Hud [11] : 88)Inilah sedikit pembahasan mengenai bid’ah, kerancuan-kerancuan di dalamnya dan dampak buruk yang ditimbulkan. Semoga dengan tulisan yang singkat ini kita dapat semakin mengenalinya dengan baik. Hal ini bukan berarti dengan mengetahuinya kita harus melakukan bid’ah tersebut. Karena sebagaimana perkataan seorang penyair,
عَرَّفْتُ الشَّرَّ لاَ
لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ ...
وَمَنْ لاَ يَعْرِفُ الشَّرَّ
مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ
Aku mengenal kejelekan, bukan berarti ingin melakukannya, tetapi ingin
menjauhinyaKarena barangsiapa tidak mengenal kejelekan, mungkin dia bisa terjatuh di dalamnya
Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat yang Maha Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami memohon kepada-Mu. Perbaikilah segala urusan kami dan janganlah Engkau sandarkan urusan tersebut pada diri kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sa’ilin.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam
Ada sebagian kelompok dalam membela
acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin
‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an
dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah melakukannya. Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para
sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan yang
sengaja kami temukan di sebuah blog di internet.
Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah
hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut.
“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu
yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan
perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan).
Adapun jika sesuatu tersebut
diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan
diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang
telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti membunuh orang yang murtad,
membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan
Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al Islam-Asy
Syamilah)
Pengumpulan Al Qur’an dalam satu
mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih
terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’
Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk
dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun.
Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila
tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan
karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten
setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al
Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi
penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya.
Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin
disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak
ada contoh sebelumnya, pen).”
Perlu diketahui pula bahwa
mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal
mursalah. Apa itu maslahal mursalah?
Maslahal mursalah adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at,
tidak ditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil
tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. (Taysir Ilmu Ushul Fiqh,
hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan). Contohnya
adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka menjaga agama.
Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil
dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar
untuk menjaga agama.
Ada suatu catatan penting yang harus
diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap
perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara
tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul
setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah
maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.“
Contoh penerapan kaedah Syaikhul
Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk
melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya
: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang.
Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah.
Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya
adalah sunnah.
Begitu pula hal ini kita terapkan
pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu?
Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi
perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena
adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah
wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah
sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.
Kaedah beliau ini dapat pula
diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam perayaan Maulid Nabi, yasinan, dan
ritual lain yang telah membudaya di tengah umat Islam. –Semoga Allah memberikan
kita taufik agar memahami bid’ah dengan benar
‘Setiap bid’ah adalah tercela’.
Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa
tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk
menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang
menjelaskan hal ini.
[Dalil dari As Sunnah]
Diriwayatkan dari Jabir bin
‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan
kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang
meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu
sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak
antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ
الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara
adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di
neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh
Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin
Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian
beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat
air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada
yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ
مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini
adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian
untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin
kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian
setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu,
kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang
mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi
geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap
perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
(HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh
Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa
Dho’if Sunan Tirmidzi)
[Dalil dari Perkataan Sahabat]
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا
أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ،
وَتَمُوتَ السُّنَنُ
“Setiap tahun ada saja orang yang
membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan
sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al
Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa
para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ
كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena
(sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.”
(Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al
Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah
perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Itulah berbagai dalil yang
menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
KERANCUAN: ADA BID'AH HASANAH YANG
TERPUJI ?
Inilah kerancuan yang sering
didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat
namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.
Memang kami akui bahwa sebagian
ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa
bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah menurut
beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana hal ini dikatakan oleh
Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata,
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة
وَمَذْمُومَة
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu
bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’,
9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari,
20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil
dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk
melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata,
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
(HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah semacam ini membuat
sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa
bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah
sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid
Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya
kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘Ini kan
bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali
dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada
menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu
sekali pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar
dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.
SANGGAHAN TERHADAP
KERANCUAN:
KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu diketahui bersama bahwa
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘sesungguhnya
sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama,pen)’,
‘setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘setiap kesesatan adalah di neraka’
serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua
ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang
mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut
maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88,
Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi seorang pun menolak
sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan
bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘tidak semua bid’ah
itu sesat’. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93)
Perlu pembaca sekalian pahami bahwa
lafazh ‘kullu’ (artinya : semua) pada hadits,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“setiap bid’ah adalah sesat”,
dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.
Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama
memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat
pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang
menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal.
91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang dipahami oleh para
sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu
sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ
رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat,
walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni
Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah yang telah
masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu
masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk
lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu
Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا
ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ
مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله
عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ
تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى
مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku
adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan
hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian!
Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di
tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya
Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ
الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ
لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka menjawab, ”Demi Allah,
wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain
kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa
banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR.
Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud-
memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik
(hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN SHALAT
TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR
[Sanggahan pertama]
Adapun shalat tarawih (yang
dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan
shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal
Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara
berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih
bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan
Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa
dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk
kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan
atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya
secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal
semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini
disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan)
–sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai
orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di
sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh
para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil
Mustaqim, 2/93-96)
[Sanggahan Kedua]
Baiklah kalau kita mau menerima
perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan
sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada
bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat.
Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara
umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’
Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Ketiga]
Anggap saja kita katakan bahwa
perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah
bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu
amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As
Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul
fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali
pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara selamatan
kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus
ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang
menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa
setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah)
adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum
yang dimaksudkan dalam hadits ‘setiap bid’ah adalah sesat’ adalah
termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala
umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah
yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat
ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah
seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini
tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan
Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa
memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di
tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang
dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan
maksud dari perkataan tersebut.
Misalnya HP ini termasuk bid’ah
secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk
bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
Kesimpulan : Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun
perkataan sahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik
(hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima : wajib, sunnah, mubah,
makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di
tengah-tengah umat.
Nantikan pembahasan selanjutnya,
tentang hukum bid'ah dan beberapa pembelaan mengenai bid'ah. Semoga Allah
mudahkan
Al
mukhatib:
Ustd Muchammad Tawariq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar